Bagi kebanyakan orang, kontes kecantikan kerap dikaitkan dengan tempat perempuan berbakat bersaing menampilkan pesona dan kecerdasan. Namun, di balik sorotan lampu panggung, beauty pageant atau kontes kecantikan ternyata punya makna strategis dalam hubungan internasional. Fenomena yang kini dikenal sebagai pageant diplomacy atau beauty diplomacy ini menunjukkan bahwa mahkota kecantikan dapat menjadi senjata soft power yang efektif bagi sebuah negara.
Pageant Diplomacy atau dikenal juga sebagai Beauty Diplomacy mengacu pada praktik negara dalam memanfaatkan ajang kecantikan untuk memperkuat citra internasional, membangun soft power, bahkan mendukung agenda politik luar negeri mereka.
Negara memanfaatkan ajang global seperti Miss Universe, Miss World, atau ajang serupa untuk membangun citra positif, menarik simpati publik internasional, sekaligus mengangkat isu tertentu yang sejalan dengan kepentingan nasional. Dengan cara ini, diplomasi tidak lagi terbatas pada meja perundingan formal, tetapi juga berlangsung di panggung yang dihiasi gaun elegan dan sorak penonton.
Konsep ini salah satunya dibahas oleh Oluwakemi M. Balogun dalam bukunya Beauty Diplomacy: Embodying an Emerging Nation (2020). Di dala bukunya, Balogun menjelaskan bagaimana suatu negara (Nigeria) menggunakan kontes kecantikan sebagai sarana membentuk identitas nasional sekaligus menegosiasikan posisinya di dunia.
Dalam praktiknya, pageant diplomacy atau beauty diplomacy merupakan bentuk soft power, ketika suatu negara mengirimkan perwakilan yang dianggap mampu mencerminkan keindahan, kecerdasan, sekaligus nilai-nilai bangsa dan memberi ruang bagi para kontestan untuk mempromosikan budaya lokal, memperkenalkan isu-isu strategis, dan menarik simpati global. Ketika seorang ratu kecantikan menang, ia tidak hanya membawa pulang gelar dan mahkota, melainkan juga mengangkat citra bangsanya di mata dunia.
Banyak negara secara sadar memanfaatkan kontes kecantikan sebagai bagian dari strategi nation branding melalui pageant diplomacy. Venezuela, India, dan Filipina merupakan contoh negara yang berhasil memanfaatkan pageant diplomacy sebagai strategi nation branding negara nya.
Indonesia juga mulai melihat peluang dalam pageant diplomacy untuk memperkenalkan kekayaan budaya nasional. Melalui ajang seperti Puteri Indonesia dan kontes internasional yang diikutinya, para kontestan kerap mengenakan busana adat, menampilkan tarian tradisional, serta membawa isu-isu khas nasional ke panggung dunia.
Lebih dari sekadar simbol, para pemenang kontes kecantikan sering berperan sebagai diplomat nonformal. Mereka berbicara tentang isu kesehatan, pendidikan, perubahan iklim, hingga kesetaraan gender di forum internasional. Kehadiran mereka di media global mampu menjangkau audiens yang mungkin tak tersentuh oleh pidato pejabat atau pertemuan diplomatik formal.
Pageant diplomacy menunjukkan bahwa hubungan internasional di era modern tidak lagi terbatas pada diplomasi antar pejabat negara. Panggung glamor bisa menjadi ruang negosiasi identitas, alat promosi budaya, sekaligus strategi politik luar negeri. Mahkota di kepala seorang ratu kecantikan ternyata bisa bermakna lebih besar daripada sekadar simbol kemenangan, ia adalah representasi sebuah bangsa di mata dunia.