
Salah satu bentuk nyata upaya pemerintah dalam mendorong ekonomi kerakyatan adalah melalui program Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih atau KDMP dan KKMP. Pemerintah telah menyiapkan dana Rp16 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63 Tahun 2025 untuk mendukung pembiayaan koperasi tersebut.
Dana sebesar itu kemudian ditempatkan di empat bank Himbara yang masing-masing bertanggung jawab menyalurkannya di bidang operasional dan investasi. Dana tersebut menjawab Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2025 berupa akselerasi pembentukan koperasi di seluruh desa dan kelurahan. Tujuan utamanya adalah meningkatkan ekonomi rakyat dari bawah ke atas, menciptakan lapangan kerja baru, dan mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Agar gagasan besar ini tidak berakhir tanpa hasil, terdapat aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan beberapa pihak dalam mengawal program besar ini.
Peluang di Akar Rumput
Secara konsep, KDMP dan KKMP menawarkan harapan besar. Bila dijalankan dengan baik, koperasi ini dapat menjadi motor penggerak utama ekonomi lokal dan membangun ekosistem usaha yang hidup mulai dari toko kelontong, gudang logistik, layanan kesehatan, hingga pusat pengolahan hasil pertanian. Dalam jangka panjang, Koperasi Merah Putih dapat menjadi tulang punggung ekonomi desa dan menjadi jembatan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antara desa dan kota.
Ada lima pilar utama yang menentukan keberhasilan program ini: legalitas lembaga, peningkatan kapasitas anggota, strategi pemasaran, akses pembiayaan, dan digitalisasi sistem. Pemerintah perlu memastikan kesiapan setiap aspek sebelum menyalurkan dana. Digitalisasi, misalnya, sangat penting untuk menjaga transparansi dan mencegah penyalahgunaan dana. KDMP/KKMP dapat memperkuat struktur ekonomi rakyat dan membangun kemandirian desa secara berkelanjutan jika dijalankan secara disiplin dan akuntabel.
Lebih dari sekadar program ekonomi, semangat "Merah Putih" yang diusung koperasi ini menunjukkan prinsip gotong royong dan menjalankan amanat konstitusi melalui partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Koperasi juga dapat menjadi model ekonomi inklusif jika dikelola secara terbuka dan mendorong masyarakat menjadi pelaku usaha, bukan sekadar menjadi penerima bantuan pemerintah.
Risiko dan Tantangan yang Mengintai

Optimisme ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya berbagai kendala yang muncul di lapangan. Salah satu masalah utama adalah minimnya pelibatan masyarakat pada tahap awal pembentukan koperasi. Banyak warga desa mengaku tidak dilibatkan, sementara pengurus koperasi ditunjuk secara top-down tanpa proses seleksi terbuka. Hal ini menimbulkan kesan bahwa program dijalankan terlalu tergesa-gesa, yang berpotensi mengurangi legitimasi sosial.
Ketidakjelasan tentang model bisnis merupakan masalah tambahan. Hingga kini, belum ada mekanisme yang transparan mengenai bagaimana koperasi baru akan dinilai kelayakan usahanya oleh bank penyalur. Jika penyaluran kredit hanya mengandalkan jaminan dana desa tanpa analisis bisnis yang matang, risiko gagal bayar massal berpotensi bisa saja terjadi.
Penggunaan SAL juga tidak bebas risiko dari perspektif makroekonomi. SAL adalah dana hasil pembiayaan utang negara dan bukanlah "uang sisa". Ketika beban bunga dibagi antara pemerintah dan Bank Indonesia, timbul kekhawatiran bahwa kemandirian moneter akan terganggu dan disiplin fiskal negara akan melemah. Kebijakan ini dapat menimbulkan beban fiskal baru di masa depan jika tidak diperhatikan.
Risiko terbesar bagi masyarakat adalah trust issue/ kepercayaan masyarakat. Jika koperasi gagal membayar pinjaman dan dana desa digunakan sebagai jaminan, potensi konflik sosial di akar rumput bisa muncul. Lebih parah lagi, bila koperasi baru justru mengambil alih usaha kecil yang sudah lama berjalan seperti warung sembako atau penyedia pupuk, maka dampak ekonominya bagi masyarakat justru akan minim.
Sinergi, Bukan Kompetisi
Agar program ini tidak menimbulkan efek tumpang tindih, pendekatan terbaik bukanlah membentuk koperasi baru di setiap desa/ kelurahan, melainkan men-sinergi-kan KDMP/KKMP dengan koperasi yang sudah ada. Banyak koperasi lama yang sebenarnya masih aktif, memiliki anggota yang loyal, sistem pembukuan yang rapi, serta pengalaman bisnis yang kuat. Mengoptimalkan bisnis yang sudah ada akan jauh lebih efektif dan cepat daripada memulai usaha baru dari nol.
Pemerintah juga harus memastikan adanya sinergi kelembagaan, bukan persaingan. Kolaborasi antara koperasi lama dan Koperasi Merah Putih akan memperkuat daya tahan ekonomi lokal dan mempercepat penyebaran manfaat program. Oleh karena itu, dana SAL sebesar Rp16 triliun dapat langsung membantu lembaga ekonomi rakyat yang telah memperoleh kepercayaan masyarakat.
Selain itu, pengawasan publik dan audit digital haruslah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem manajemen koperasi. Keterbukaan informasi nantinya akan berfungsi sebagai pengendali moral agar tidak terjadi penyimpangan. Jangan sampai semangat pemberdayaan rakyat justru nantinya berubah menjadi ajang penyalahgunaan anggaran.
Menyalakan Kembali Api Gotong Royong
Gagasan yang mendasari Koperasi Merah Putih adalah membangun kemandirian ekonomi bangsa melalui gotong royong dari desa. Meskipun demikian, idealisme saja tidaklah cukup, program besar seperti ini membutuhkan profesionalisme, tata kelola yang bersih, dan kolaborasi lintas pihak agar tidak berhenti di slogan semata.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kegagalan banyak program ekonomi rakyat bukan karena kurangnya dana, melainkan lemahnya pengawasan dan manajemen. Oleh karena itu, keberhasilan KDMP dan KKMP akan sangat bergantung pada konsistensi menjalankan lima pilar utama: legalitas, pendidikan, pemasaran, pembiayaan, dan digitalisasi.
Pada akhirnya, indikator keberhasilan Koperasi Merah Putih tidak tergantung pada seberapa besar dana yang dialokasikan, tetapi pada seberapa baik program itu membantu masyarakat desa. Jika semangat gotong royong tetap dijaga dengan baik, "Merah Putih" akan menjadi simbol kebangkitan ekonomi rakyat dari akar negeri ini, bukan hanya sekedar angan-angan atau wacana semata.