
KEMENTERIAN Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KemenHAM RI) menggelar brainstorming Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, bertempat di Ruang Rapat KemenHAM RI pada Kamis (04/09). Brainstroming ini turut melibatkan kalangan civil society seperti Mitra Perempuan, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Human Rights Working Group (HRWG), Perhimpunan Badan Hukum Indonesia (PBHI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Perhimpunan Badan Hukum Indonesia (PBHI), Solidaritas Perempuan, Kantor Staf Presidenan, Trade Union Rights Centre (TURC), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH), KSP dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum (Ditjen PP Kemenkum).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KemenHAM RI Novita Ilmaris dalam sabutannya mengapresiasi kepada civil society yang telah menyempatkan hadir dalam brainstorming ini baik secara langsung maupun luring. "Saya berharap agar civil society dapat menyampaikan pandangannya dengan tepat demi kelancaran penyusunan revisi UU HAM ini nantinya," katanya, dalam keterangan resmi, Jumat (5/9).
Selanjutnya, berbagai kalangan civil society menyampaikan pandangan kritis dalam forum pembahasan revisi UU HAM. Mereka menekankan pentingnya memastikan revisi UU tersebut berpihak pada korban, memperkuat lembaga independen, dan Kementerian HAM selaku Government Focal Point serta memperluas perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan dan pekerja migran. Forum ini juga menyoroti lemahnya perlindungan bagi pembela HAM dan masih terbatasnya ruang bagi masyarakat sipil dalam proses legislasi serta daya mengingkatnya instrumen internasional yang telah di ratifikasi
Perwakilan Mitra Perempuan, Elen Leony, menegaskan perlunya memasukkan perspektif HAM dalam setiap kebijakan dan layanan publik yang diberikan aparat pemerintah. Ia menilai, revisi UU HAM harus memberikan perhatian khusus pada perlindungan korban serta memastikan hakim memiliki perspektif korban agar proses peradilan berjalan adil. Hal ini, menurutnya, penting untuk mencegah terulangnya ketidakadilan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM.
Dari Imparsial, Wira Dika menekankan bahwa revisi UU HAM harus melibatkan korban pelanggaran HAM agar dapat menjawab kebutuhan nyata mereka. Ia juga menyoroti pentingnya penguatan kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga independen, sekaligus menegaskan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu harus fokus pada pemenuhan keadilan, bukan sekadar mengubah sejarah. Sementara itu, Koalisi Perempuan Indonesia melalui Bayu Sustiwi mendorong agar revisi UU HAM dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan perempuan dan kelompok rentan lainnya, serta memperkuat Komnas Perempuan dalam memberikan perlindungan korban kekerasan.
Isu penguatan kelembagaan juga banyak disorot. HRWG melalui Ardi Rosyiadi menekankan pentingnya memperkuat Komnas HAM secara struktural dan fungsional agar independensinya tidak tergerus. Senada hal itu, YLBHI melalui Muhammad Isnur mengingatkan bahaya intervensi politik dalam proses pemilihan pimpinan Komnas HAM, dan pikiran-pikiran membuat staf Komnas menjadi PNS yang berpotensi mengurangi independensi lembaga ini.
Dari perspektif kelompok rentan, SBMI menekankan agar pekerja migran dimasukkan sebagai kelompok yang dilindungi dalam revisi UU HAM. Feliana Fauzziah dari SBMI menyoroti diskriminasi dan eksploitasi yang dialami pekerja migran, sehingga perlu ada pengaturan terkait hak kesehatan, perlindungan sosial, dan kesetaraan gender. Solidaritas Perempuan melalui Safianty juga menyoroti lemahnya perlindungan terhadap perempuan pembela HAM, serta menuntut agar revisi UU HAM mengakomodasi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).
Selain itu, sejumlah pembicara seperti Aldeta Oktaviani dan Gina Sabrina dari Perhimpunan Badan Hukum Indonesia menekankan pentingnya revisi UU HAM untuk mengatur mekanisme pemulihan korban, memperhatikan kasus HAM masa lalu secara transparan, serta memasukkan isu-isu baru seperti kejahatan ekosida. Mereka juga mendorong agar aktor non negara, termasuk korporasi, dapat dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran HAM.
Sementara itu, INFID melalui Bona mengingatkan bahwa sektor bisnis memiliki peran besar dalam praktik pelanggaran HAM, sehingga aturan terkait korupsi dan praktik bisnis perlu masuk dalam materi revisi UU HAM. Adapun sebelum brainstroming dengan kalangan civil society , telah dilakukan pula dengan Lembaga Nasional HAM. (Cah/P-3)