
DIREKTUR Utama (Dirut) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti menyampaikan sejumlah masukan terkait Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Menurutnya, dalam regulasi tersebut perlu ditegaskan bahwa pekerja rumah tangga (PRT) berhak mendapatkan pelindungan sosial tanpa melihat kategori pekerja formal atau informal.
"Kalau Perpres 82, pekerja itu bukan pekerja formal atau informal begitu, bukan. Namanya pekerja itu penerima upah. Kalau dia penerima upah ya dia pekerja. Maka di dalam draft undang-undang PRT ini menurut saya harusnya disebutkan bahwa pemberi kerja dan perusahaan penempatan PRT berkewajiban memastikan PRT mendapatkan pelindungan sosial. Itu untuk memastikan PRT dapat," kata Ali Ghufron dalam RDPU dengan Baleg DPR RI, Senin (8/9).
Ghufron menyoroti draf Pasal 15F yang mengatur soal jaminan kesehatan. Menurutnya, saat ini peserta penerima bantuan iuran (PBI) baru mencakup sekitar 34% atau 96,8 juta orang. Padahal, kebutuhan idealnya mencakup hingga kelompok masyarakat di desil 5 atau sekitar 50% penduduk. Artinya, masih ada 15-16% masyarakat yang berpotensi tidak mendapatkan jaminan kesehatan.
"Maka disebutkan bahwa pemberi kerja dan perusahaan penempatan PRT berkewajiban memastikan bahwa PRT mendapatkan pelindungan sosial, itu yang pertama. Kedua, bahwa pembayar iuran itu bisa pemberi kerja, bisa Pemda, bisa Pemerintah Pusat, atau PBI kalau memenuhi persyaratan," jelasnya.
Ghufron juga menekankan, tidak semua pekerja bisa langsung terdaftar sebagai PBI karena harus memenuhi kriteria tertentu. Saat ini, data penerima menggunakan basis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah diperbarui menjadi Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Ia menambahkan, beban pembayaran iuran tidak semata-mata harus ditanggung pemberi kerja. Namun, kewajiban pemberi kerja atau perusahaan penempatan PRT adalah memastikan pekerjanya terdaftar dalam sistem pelindungan sosial.
"Kalau pemberi kerja suruh bayar, kadang-kadang mereka kesulitan sendiri. Makanya jangan kita sebut bahwa pemberi kerja harus bayar, tapi yang bersangkutan wajib memastikan bahwa PRT-nya dapat. Dapatnya dari mana? Menurut saya, bisa dari pemberi kerja kalau dia mampu, kalau tidak mampu, ya RT RW-nya harus memastikan untuk terdaftar perlindungan sosial," ujarnya.
Lebih lanjut, Ghufron mengusulkan agar penegasan kewajiban tersebut dimasukkan dalam Pasal 16 atau bahkan ditambahkan sebagai pasal baru. Tujuannya, agar tidak terjadi salah tafsir bahwa pembiayaan hanya menjadi tanggung jawab APBN.
"Kalau tidak disebutkan bahwa pemberi kerja atau perusahaan penempatan PRT berkewajiban dan kalau disebutkan ini dari APBn, akhirnya Pemerintah Daerah tidak tanggung jawab, apalagi pemberi kerja. Jadi Ini jalan keluarnya menurut saya," pungkasnya. (H-4)